Kamis, 04 Januari 2018

Rindu Kiyai Idris


Tulisan ini adalah catatan pribadi yang saya tulis seadanya, sekitar 4 bulan setelah menyelesaikan pengabdian di TMI pada bulan Februari 2009.

Empat bulan awal meninggalkan pondok dengan sikon emosi yang masih sering melonjak membuat saya terpanggil untuk meminta nasihat dari almarhum Kiyai Idris. Terlebih saat itu saya pribadi masuk pada situasi yang benar-bemar baru yaitu suasana Jogja dengan panas dinginnya godaan dan harapan.

Berikut saya repost ulang cerita pertemuan saya dengan kiyai Idris tersebut tanpa menambah dan mengurangi. Sekadar melampiaskan kerinduan pribadi, sekaligus juga menyampaikan pesan Kiyai Idris, karena apa yang disampaikan beliau pagi itu juga relevan dengan kebutuhan alumni yang lain.

Tausiyah Kiyai M. Idris Jauhari

Ba'da Subuh Hari Rabu 11 Pebruari tepat tanpa dzikir aku bersama Jamal segera menuju Idaroh Ammah kediaman pinpinan KH. Muhammad Idris Jauhari. Duduk di teras musholla pribadi beliau yang berhimpitan dengan dapur asatidz.Tidak banyak yang berubah, bahkan masih kelihatan sama dengan sebelum aku meninggalkan pondok. Bunga dan tanaman hias yang tumbuh di halaman rumah beliau masih kelihatan segar,menandakan kalau taman itumasih terurus dengan baik. Terasa sangat sejuk, indah dan nyaman.

 Tidak terlalu lama aku menunggu, tiba-tiba dari kejauhan terdengar suara motor mio milik beliau mendekati tempat aku menunggu. Terlihat K. Idris masih bugar dan dapat mengontrol laju kendaraannya. Tepat sekitar 2 meter dari tempat aku menunggu beliau memarkir motornya, kemudian diikuti oleh respon sopanku untuk berjabat tangan dengan beliau. Terasa begitu hangat uluran tangannya seumpama orang tua yang menyalami anak kandungnya sendiri. Sambil menyuruh aku duduk kemudian beliau menuju kediaman, sementara aku dengan penuh hormat duduk kembali menunggu beliau hingga keluar lagi.

Selang 10 menit K. Idris kembali keluar menemui aku, Jamal dan Imron.Wajah beliau begitu sangat cerah sambil mengumbar sapaan hangat seorang kiyai kepada santrinya. Sapaan pertama beliau dimulai dengan menanyakan tempat dimana aku sekarang berdomisili dan berkecimpung dalam kesibukan apa aku saat ini. Aku hanya menjawab seadanya saja sesuai dengan apa yang aku alami. Arah obrolan beliau tetap bernuansa pendidikan, dakwah dan perjuangan.

Obrolanpun berlanjut pada hal-hal yang sifatnya tausiyah seorang guru pada santrinya, seperti beberapa hal yang cukup menarik dan masih dengan sanagt lengket melekat di benakkau masalah kebutuhan-kebutuhan manusia dalam mengarungi kehidupan.

Menurut beliau manusia sering lupa akan kebutuhan-kebutuhan yang siifatnya abstrak atau spritual. Kadang hanya mengedepankan kebutuhan-kebutuhan jasmaniah saja tanpa menghiraukan kebutuhan ruhaniahnya. Makan, minum, pakaian serta kebutuhan-kebutuhan jasmani begitu sangat dicari oleh manusia, rasanya jika salah satu dari kebutuhan jasmani itu tidak terpenuhi manusia secara reflek akan langsung cekatan untuk segera memenuhinya.

Bebeda tat kala seseorang belum memenuhi kebutuhan rohaniahnya mereka dengan santai tidak respek bahkan mungkin sengaja ditinggalkan.Dalam hal ini beliau menkankan agar seorang manusia itu mampu memenuhi dua kebutuhan itu secara tepat dan seimbang atau bahasa agamanya biasa disebut adil.

Berlanjut pada hal berikutnya, beliau juga menyinggung pada apa yang telah manusia terima dan ia rasakan . Secara umum banyak hal yang telah manusia dapati dari kehidupan yang sesuai dengan apa yang ia inginkan. Ini menandakan bahwa Allah SWT begitu sangat sayang pada setiap makhluknya. Dalam pengrtian lainnya Allah lebih merespon dan merealisasikan apa yang manusia inginkan, beliau membahasakan hal ini dengan sebutan taufik. Taufik berarti kehendak manusia yang sesuai dengan kehendak Allah. Hal itu mewajibkan seorang hamba agar selalu ingat dan bersyukur kepada-Nya. Selain daripada itu ternyata taufik belum cukup menjadikan seseorang bisa menjadi hamba yang sesungguhnya.

Banyak orang yang mendapatkan taufik tapi malah semakin jauh dari-Nya. Adapun kebutuhan manusia setelah taufik adalah Hidayah. Hidayah inilah yang akan menjadi penuntun seorang hamba menjalani realita atau kehendak yang telah terealisasi agar selalu tepat berjalan di atas rel yang telah ditentukan yaitu Islam. Untuk itu beliau menginginkan santri-santrinya agar tidak hanya mendapat taufik yang berupa kemudahan-kemudahan hidup, tapi juga sekaligus penerima Hidayah agar benar-benar menjadi hamba-Nya yang dijaga dari kesesatan.

Tidak lupa beliau juga berpesan agar kita selaku umat muslim yang santri atau secara khusus sebagai santri dan alumni Al-Amien agar terus meningkatkan kualiatas hubungan antar sesama agar tercipta sebuah power atau kekuatan. Bagi beliau seorang individu yang tangguh tidak akan berarti apa-apa jika dia hanya bekerja sendiri dengan mengesampingkan hubungan bersama. Namun juga beliau tidak menginginkan individu yang lemah walau tidak mengesampingkan kerja sama.Hasil dua kubu ini sama-sama tidak akan mengahasilkan sesuatu yang produktif malah bisa saja menghambat dinamisasi perkembangan umat. Adapun yang beliau inginkan adalah oarang-orang yang tangguh secara skill individual tapi juga tidak mengesampingkan kerja sama inilah yang beliau bahasakan dengan al-Qowi.

Masih pada singgungan masalah perjuangan membangun umat, yang kemudian beliau melanjutkan konsep tentang al-Qowi tadi. Ternyata dalam pandangan beliau, kuat saja tidak cukup untuk membangun umat yang beraneka ragam. Untuk memberikan keadilan dan kebijaksanaan yang meliputi lintas perbedaan tersebut perlu orang-orang yang dapat dipercaya. Orang yang jujur dan menjauhi peneyelewengn dan pengingkaran dengan berbagai tipenya, beliau membahasakan orang-orang seperti ini dengan sebutan al-Amien. al-Amien juga tidak bisa berdiri sendiri untuk memenuhi keadilan dan kebijaksanaan yang dinginkan oleh semua kalangan, tapi ia butuh orang-orang kuat. Artinya Al-Qowi akan selalu bergandengan Al-Amien jika ingin menciptakan dan menyuguhkan keadilan dan kebijaksanaan bagi seluruh kalangan umat yang majemuk. Untuk itu beliau bermimpi agar para alumni dan santri-santrinya menjadi Al-Aqwiya Al-Umana' atau pribadi yang Al-Qowiyul Amien.

Itulah tiga poin penting tausiyah K. Idris di pagi itu, beliau benar-benar masih menjadi sosok pribadi yang tak mengenal lelah dalam belajar. Setiap ketemu beliau, beliau selalu memberikan ilmu baru bagi santrinya. Rasanya sangat jarang setiap pertemuan tanpa hal yang baru, beliau benar-benar sosok pribadi berjuta ide.

 Aku kagum sekaligus iri sebagai santrinya yang masih muda kadang terseok-seok melawan bualan romantisme dunia yaang menwarkan racun. Semoga dari pertemuan singkat bersama beliau akan menambah semangat dan kerja nyata dalam diriku untuk terus menjadi Tholibul Ilm hingga akhir hayat. Amien....

Dini hari Kamis 12 Pebruari jam 03.00 setelah pertemuanku dengan K. Idris aku balik menuju Jogja. Begitu sangat terkesan lawatan singkat ini, kangen, rindu pada teman serta pada pondok dan teman kini dapat terobati. Sekarang aku harus lebih semangat lagi untuk menjadi hambanya yang al-Qowi sekaligus al-Amien yang mampu menjadi pengemban amanah umat serta dapat memenuhi dua kebutuhan pokok kehidupan secara proprosional seperti yang diharapkan K. Idris.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar