Jumat, 10 November 2017

Dibalik Kerisauan Terhadap Putusan MK Soal Penghayat Kepercayaan

Keputusan Mahkamah Konstitusi terkait pencantuman penghayat kepercayaan pada kolom KTP telah mengundang polemik. Terdapat beberapa pernyataan ketidaksukaan terhadap putusan tersebut, pada intinya bermotif intoleran terhadap kepercayaan di luar agama resmi.

Sebagai puncaknya,  hadirlah sejumlah narasi pejoratif dari kalangan masyarakat yang tidak menyukai keputusan MK. Salah satunya datang dari anggota komisi hukum MUI Anton Tabah Digdoyo. Menurutnya aliran kepercayaan sebagai hal yang negatif dan tidak boleh berkembang di Indonesia.

Dalam kutipan pernyataannya yang disampaikan secara tertulis kepada RMOL.co (9/11). "NKRI adalah Negara beragama bukan negara penghayat kepercayaan. Keputusan MK itu menandakan NKRI mundur ke zaman batu. Animisme-dinamisme bakal tumbuh subur lagi di Indonesia, di era sains yang semakin maju".

Pernyayaan tersebut tentu tidak dapat dibenarkan secara sepihak tanpa unsur penimbang lainnya.  Setidaknya sila Ketuhanan Yang Maha Esa perlu penafsiran dan uraian yang lebih kokoh untuk mengatasi polemik istilah agama dan penghayat kepercayaan.  Apakah keduanya terdapat perbedaan dalam konteks kebertuhanan.

Uraian dan penafsiran tersebut dirasa penting terkait dengan pernyataan anggota komisi hukum MUI yang membedakan antara agama dan penghayat kepercayaan. Secara mendalam pernyataan tersebut seakan menghendaki bahwa agama itu bertuhan dan penghayat kepercayaan itu tidak bertuhan (ateis) ,  sehingga tidak boleh ada dan berkembang di negara ini.

Pernyataan tersebut terlalu arogan hingga kemudian harus meminggirkannya dari pengakuan formal negara dengan satu tuduhan yang tidak berdasar, yaitu menuduh penghayat kepercayaan sama dengan ateis. Sungguh satu tuduhan yang menyakitkan,  dimana faktanya penghayat kepercayaan justru adalah kelompok yang sangat mempercayai unsur kekuatan di luar manusia dan dunia ini. Tentu yang dimaksud dalam hal ini adalah Tuhan.

Seharusnya kalangan masyarakat "bergama" tidak perlu risau dengan pengakuan tersebut. Mengingat fenomenanya sungguh ada di tengah-tengah masyarakat yang selama ini terselubung pada setiap agama resmi. Dalam pandangan yang lebih arif, dibukanya pengakuan penghayat kepercayaan justru memberikan nilai keutamaan terhadap agama resmi yang telah ada selama ini agar tidak lagi takut dengan segala bentuk penyusup ajaran "bid'ah", seperti tuduhan kaum puritanis.

Namun kerisauan tetap terus bergejolak,  karena pada hakikatnya bukan persoalan ateis atau agama. Dibalik semua itu terdapat kontestasi sosial politik yang memenggal kepentingan kelompok demi kepentingan kelompok tertentu atas nama agama dan tuhan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar