Selasa, 21 November 2017
Reorientasi Keberimanan dalam Semangat Kebangsaan
Catatan saya pada (19/11) di website NU Khatulistiwa mengenai prefrensi politik masyrakat Kalbar terhadap kedatangan dua tokoh yaitu Dr. Haidar Bagir dan TGB Zainul Majdi ke Pontianak mengundang polemik di beberapa komunitas. Tulisan tersebut dianggap terlalu longgar dalam memahami nilai-nilai keislaman, khususnya pada persoalan pemilihan pemimpin.
Kelonggaran tersebut dicurigai dapat menggiring pada penafsiran bahwa seorang muslim diperkenankan memilih pemimpin non muslim. Padahal memilih pemimpin non muslim merupakan pengkhianatan paling kentara yang serupa dengan menginjak-nginjak ayat suci Al-Quran. Dalam komunitas yang reaktif tersebut, asumsi adanya kelonggaran tersebut juga tidak dapat dibenarkan, sekaligus juga perlu diluruskan.
Pemimpin muslim dianggap lebih baik dan menguntungkan bagi para pemilih muslim. Sebaliknya, pemimpin non muslim tidak akan pernah bisa memberikan kemaslahatan, bahkan dicurigai akan melakukan tindakan diskriminatif dan merugikan umat Islam. Berdasar pemikiran paranoid inilah, dorongan untuk memilih pemimpin muslim bagi kaum muslim menjadi suatu kewajiban yang tidak boleh terbantahkan.
Beberapa kisah romantisme juga disampaikan untuk mengafirmasi bahwa muslim tetap lebih baik dari non muslim. Sebagai fakta konkret, bahwa lebih dari setengah abad negeri ini yang dihuni sebagian besar muslim dan dipimpin oleh pemimpin muslim tidak pernah melakukan tindakan dan kebijakan represeif terhadap non muslim. Hal ini menunjukkan, bahwa kepeminpinan dan pemimipin muslim tetap lebih tepat dibandingkan dari pemimpin non muslim.
Segementasi pemahaman tersebut di atas mendekati liniearitas kepatuhan dan keberimanan tanpa konteks. Demokrasi, kesadaran bernegara dan pluralitas sebagai variabel kenyataan menjadi konteks yang dipinggirkan. Bahwa berhaji, berkomunikasi, bertransportasi bahkan mungkin sampai pada persoalan yang paling domestik dalam urusan seorang muslim tidak dapat selesai dengan tuntas jika hanya mengandalkan linieritas kepatuhan dan keberimanan. Karena tidak semua aspek dapat dijangkau oleh peradaban muslim, apalagi persoalan dunia ini memang tidak mungkin didominasi oleh satu warna.
Semestinya kelegaan muslim menerima pesawat terbang sebagai transportasi yang dapat mengantar mereka ke tanah suci sebagai produk non muslim juga dapat setara dengan penerimaan pemahaman mengenai persoalan kepemimpinan dan politik. Namun yang terjadi tidak demikian, persoalan kepemimpinan dianggap sesuatu yang berbeda dengan kelegaan menerima produk teknologi, bahkan kepemimpinan non muslim tidak dapat diakomudir karena dianggap akan merugikan dan bahkan dapat mengancam umat muslim.
Suatu hal lain yang juga sangat sulit dicerna oleh akal sehat ketika sikap positifpun yang ditunjukkan oleh non muslim juga tetap dianggap negatif oleh seorang muslim. Beberapa fakta terakhir, terdapat tokoh nasional yang kebetulan non muslim melakukan kerjasama dengan sejumlah pesantren dan masjid untuk menunjang pendidikan Islam. Namun sikap tersebut tetap dinilai sebagai bagian tipu daya, bahkan belakangan muncul fatwa pengharaman terhadap penerimaan bantuan dari non muslim.
Kecurigaan berlebihan tersebut telah menuntaskan akal sehat yang kemudian menjelma menjadi tubuh-tubuh beriman yang penuh dengan rasa ketakutan. Fakta dominasi menduduki kursi pemerintahan yang bekepanjangan telah membuat sebagian umat Islam terlena. Umat Islam melupakan akselerasi zaman yang terus bergerak meminta kualitas bukan sekedar identitas. Terbukti bangsa ini telah berpuluh tahun dikelola oleh para pemimpin muslim, namun keterbelakangan tidak kunjung berakhir. Hal ini menujukkan bahwa iman yang tersimpan dalam tubuh muslim belum menjadi sikap dan kebijakan.
Gejolak kejengahan tersebut makin hari makin nampak, peluang kecil mulai terbuka dari berberapa penjuru negeri ini. Celah itu terbaca baik, beberapa suksesi kepemimpinan berhasil direbut oleh tubuh-tubuh yang tidak beriman. Kenyataan tersebut memang bagaikan pil pahit yang mau tidak mau harus ditelan. Perbaikan orientasi keberimanan perlu terus dilanjutkan dengan tindakan-tindakan yang terukur sesuai dengan konteks Keindonesiaan.
Dengan demikian, fakta kemenangan dan adanya kecendrungan muslim pada non muslim bukan persoalan kedangkalan dan kelonggaran pemahaman terhadap agama. Mereka sejatinya adalah kelompok orang sdang mencari keseriusan keberimanan dalam konteks kebangsaan. Mereka sedang menunggu persaingan agenda perubahan yang kompetitif untuk memperbaiki kebutuhan hidup mereka, bukan hanya persoalan mengenalkan mana yang kafir dan mana yang mu’min.
Teruslah maju bersaing memberikan resep dan pilihan rasa yang terbaik, sebagaimana kita lebih menyukai soto solo daripada ayam geprek.
* tulisan ini juga diterbitkan di website NU Khatulistiwa
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar