Minggu, 19 November 2017

Haidar Bagir dan TGB Zainul Majdi Dalam Prefrensi Politik Masyarakat Kalbar




Sabtu (18/11) menjadi hari yang cukup istimewa bagi warga kota Pontianak. Pada hari yang sama dan dalam jam yang hampir bersamaan telah hadir dua tokoh berpengaruh,  yaitu Dr. TGB Zainul Majdi, M.A dan Dr. Haidar Bagir dengan agenda dan tempat kegiatan terpisah.

Kehadiran kedua tokoh tersebut dimaksudkan sebagai upaya memperluas wawasan intelektual warga kota Pontianak,  khusunya para kaum muda yang masih aktif secara formal berada di dunia akademik. Karena keduanya sama-sama dihadirkan oleh kampus,  TGB dihadirkan oleh IAIN sementara Haidar Bagir disupport oleh UNU.

Namun yang berkembang di tengah masyarakat tidak melulu dalam perspektif akademik, bahkan sampai melebar pada perspektif politik. TGB diidentikkan sebagai muslim yang taat dan representasi profil pemimpin muslim Indonesia yang tepat.

Hafalan Quran dan pengetahuan agama TGB yang luas menjadi representasi utama dari kesalehannya. Kemudian sisi identitas jabatan politiknya sebagai Gubernur NTB menjadi unsur yang paling menonjol dan menjadi kebanggaan umat.

Kehadirannya yang semula diharapkan dapat memberi pesan intelektual sesuai dengan bidang keilmuan TGB yaitu ulumul Quran. Namun yang sampai dan menjadi kesan bagi peserta yang mengikuti acara TGB justru sangat politis.

Kesan yang terbangun dari para peserta acara TGB adalah sebuah harapan terhadap Kota Pontianak ke depan.  Pontianak diidamkan dapat memiliki pemimpin yang serupa dengan TGB dengan sedikit mengasumsikan pada nama-nama bakal calon walikota yang sudah beredar di tengah-tengah masyarakat.

Sebaliknya,  Haidar Bagir dengan narasi akademiknya mengenai Islam Tuhan Islam Manusia malah dipandang dari perspektif politik. Haidar Bagir dianggap sebagai representator syi'ah yang dalam pandangan politik awam tentu sangat sesat, terlebih tema yang dibawakan juga sangat sensitif.

Pada catatan saya kemarin (18/11) mengenai Islam Tuhan Islam Manusia (tema acara Haidar Bagir)  serta fakta kejenuhan Kristen RRC yang mengganti gambar Yesus dengan gambar Presiden Xi Jinping telah dimaknai secara arogan oleh beberapa kalangan. Apalagi ketika ditambah dengn penutup kalimat interogatif,  "maukah nasib Islam Indonesia seperti umat Kristen di RRC?".

Fakta kristen RRC tersebut hanya suatu fakta kekecewaan terhadap ajaran agama yang melulu hanya berkutat pada persoalan surga dan neraka,  mu'min dan kafir.

Dalam konteks politik dan kepemimpinan tidak boleh hanya mengambil salah satu semangat spritualitas dari Islam Tuhan atau Islam Manusia. Dalam pengertian saya, gagasan Haidar Bagir tersebut adalah masukan konstruktif yang terbuka  diakomodir untuk membangun perspektif baru, khususya dalam konstelasi politik di Kalbar.

Kedua spritualitas tersebut harus jadi dasar kepemimpinan muslim. Jangan hanya tubuhnya yang beriman,  tapi visi dan prilakunya belum beriman. Karena jika hanya terus mengedapankan identitas keberimanan tubuh,  maka sisi visi dan prilaku akan diambil oleh tubuh yang tidak beriman.

Kecenderungan pilihan politik manusia akan lebih condong pada keberimanan dalam bentuk visi dan prilaku. Nah dalam hal ini,  para pemimpin Islam Indonesia bisa dibilang terbelakang. Kalah merancang program,  kalah bertindak dan seterusnya. Sehingga sebagai amunisi terakhir mereka para politisi muslim tersebut akan kembali memainkan identitas spritualitas keberimanan tubuh untuk memenangkan kontestasi.

Jika terus berjalan seperti yang tersebut di atas, masyarakat muslim juga akan sampai pada titik kejenuhan. Maka jangan salahkan jika ada sebagian muslim yang lebih cenderung memilih pada tubuh yang tidak beriman. Karena bisa jadi kontestan muslim yang maju kalah pada visi, program dan tindakan.

Asumsi mengenai keadaan di atas itulah yang hampir serupa dengan kasus Kristen RRC. Tentu hal tersebut tidak diinginkan, namun tidak boleh hanya berhenti sampai disitu. Apalagi hanya sebatas membenci dan membuli (bullying).  Islam Tuhan Islam Manusia menjadi pilihan yang utuh,  bukan dianjurkan untuk memilih salah satunya.

Dengan demikian kehadiran dua tokoh tersebut di atas jangan ditempatkan sebagai dua kubu yang saling berlawanan.  Justru kehadiran beliau berdua seharusnya menjadi titik tolak baru untuk sebuah pemahaman keislaman, kepemimpinan dan politik.

Islam Tuhan Islam Manusia adalah ajakan mempertegas kesalehan vertikal dan upaya memperelok visi dan prilaku keberimanan yang maju agar dapat kompetitif dengan hadirnya sejumlah kompetitor yang makin fantastik menyajikan visi dan prilakunya walau tidak dengan identitas tubuh yang beriman.

Jadi kehadiran dua tokoh tersebut di atas dalam prfrensi politik yang tepat bukan berbicara tentang siapa yang paling layak dipilih atau siapa yang diharamkan dipilih. Lebih dari itu,  kesiapan visi dan prilaku keberimanan adalah sisi yang sangat menentukan pilihan politik setiap muslim.

Jika muslim menginginkan pemilih muslim memilih pilihan yang muslim juga,  segeralah bangun visi dan prilaku keberimanan yang mantap. Jangan kembali memainkan aspek kecurigaan dan kebencian,  karena hal itu menunjukkan krendahan visi keberimanan.

Selamat berkontemplasi...

*) Tulisan ini juga diterbitka di http://nukhatulistiwa.com/2017/11/antara-haidar-bagir-dan-tgb-zainul-majdi-dalam-prefrensi-politik-masyarakat-kalbar/


Tidak ada komentar:

Posting Komentar