Jumat, 17 November 2017

KH. Moh. Idris Jauhari: Cinta Monyet dan Cinta Sejati


Tulisan ini adalah refleksi dari tausiyah KH. Moh. Idris Jauhari. Sengaja dihadirkan sebagai rasa rindu seorang santri terhadap nasehat gurunya. Semoga Allah menempatkan beliau bersama kumpulan hamba-hamba-Nya yang sholeh.  Amin..

Sekitar tahun 2000-an, suara khas tausiyah KH. Moh. Idris Jauhari menjadi penutup dari segala aktifitas harian para santri Al-Amien, tepatnya menjelang waktu tidur malam para santri.  Beliau selalu hadir memberikan tausiyah melalui Radio Panggil (ragil) yang terpasang pada setiap rayon (asrama)  di Al-Amien. 

Para santri, asatidz dan seluruh penghuni pondok diminta menghentikan sejenak aktifitasnya untuk melakukan kontemplasi,  mengambil hikmah dari tausiyah yang biasa Kiyai Idris sampaikan. Durasinya memang tidak terlalu lama,  sekitar 10 hingga 15 menit, namun istiqamah dalam setiap malamnya.

Tema-tema yang disampaikan memang bersifat perenungan dan otokritik terhadap prilaku individu dan sosial dalam perspektif sufistik. Salah satu tema yang cukup menggugah yang pernah disampaikan oleh beliau adalah tema cinta.

Menurut beliau, fenomena sosial yang kurang disadari oleh sebagian besar umat muslim pada persoalan pengakuan cinta dan pembuktiannya dalam bentuk prilaku. Cinta dalam hal ini tentu bukan persoalan ketertarikan dan kesukaan antar satu orang pada orang lain.

Dalam konteks sufistik cinta itu adalah cinta yang tidak pernah ada deritanya yaitu cinta kepada Allah. Cinta sejati ini tidak mudah dicapai oleh manusia,  walau cukup banyak yang mudah mengaku cinta kepada Allah. Hanya sebagian kecil sajalah yang benar-benar valid dan sejati cintanya kepada Allah.

Pada sejumlah fakta, banyak muslim yang mengaku cinta kepada Allah namun pada saat yang sama juga mengkhianati Allah. Bahwa seseorang tetap melaksanakan sholat tapi di kesempatan yang lain juga berani bermaksiat. Bentuk prilaku cinta model ini, menurut beliau tergolong cinta monyet.

Cinta monyet dalam terminologi kehidupan remaja adalah cinta yang berlumuran di mulut namun sangat kebas di dalam tindakan. Dalam analogi yang beliau sampaikan, bahwa cukup mudah ditemui dalam kehidupan sosial banyak orang yang mati-matian mencintai Allah,  namun di sisi yang lain juga mati-matian bermaksiat kepada Allah.

Ambivalensi cinta tersebut itulah yang menurut beliau setara dengan cinta monyet. Semestinya cinta itu tumbuh dari hati,  tanpa pamrih dalam setiap keadaan. Kondisi miskin maupun kaya cinta itu harus tetap berkobar,  bahkan cinta kepada Allah yang sebenarnya adalah cinta yang melebihi dari kategori cinta yang lainnya.

Cinta kepada Allah mengandung arti mengambil segala resiko,  termasuk jika harus sampai pada tataran dibenci oleh sesama makhluk-Nya. Cinta itu tetap harus tegak dengan selalu tunduk melaksanakan perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya.

Lalu,  pada bentuk yang manakah cinta kita kepada Allah??.  Cinta monyet ataukah cinta sejati??.

Pada saat buntu untuk menjawab pertanyaan otokritik itulah, penulis dan mungkin juga kita semua merindukan tausiyah beliau lagi. Alfatihah...


Tidak ada komentar:

Posting Komentar