Jumat, 18 Agustus 2017

SILATURAHMI DAN KEMANDIRIAN EKONOMI KOLEKTIF

Gagasan tema di atas bukan suatu hal yang berlebihan, justru merupakan landasan fundamental ekonomi Islam yang kini banyak dilupakan oleh umat Islam sendiri. Sebagian muslim terlena dengan pukauan sistem ekonomi kapitalisme yang telah menggurita, sehingga asas fundamental tersebut secara perlahan tercerabut dari kehidupan umat Islam. Sebagai konsekuensinya, umat Islam lebih tertarik memperkaya diri sendiri dan melupakan nasib kolektifi muslim sebagai umat terbaik di muka bumi ini. Terjadilah jarak yang tidak berimbang antara si miskin dengan si kaya, dengan bahasa yang lebih sederhana terdapat umat muslim yang sangat kaya, pada segmen yang lain juga tidak dapat dielakkan adanya umat muslim yang sangat miskin.

Fenomena kesenjangan tersebut harus disikapi serius, karena jika dibiarkan maka akan semakin membuat umat Islam tertinggal jauh dari umat yang lain. Kesadaran akan realitas tersebut sejatinya sudah cukup lama disadari oleh umat Islam puluhan tahun silam dengan munculnya pertanyaan limadza ta-akhorul muslimun wa taqaddama ghairahum. Namun kesdaran tersebut hanya berupa narasi dan diskusi verbal belaka, sehingga dalam kenyataannya belum dapat memberikan perubahan yang berarti, bahkan sampai sekarang umat Islam masih sangat lemah secara ekonomi.

Sungguhpun demikian, realitas tersebut tidak dapat menggeser kualitas keimanan atau mendegradasi kesakralan ajaran Islam. Dengan demikian, kemunduran atau ketertinggalan Islam secara ekonomi tidak mempunyai korelasi yang signifikan dengan substansi doktrin Islam. Adapun yang perlu dicurigai adalah pemahaman dari umat Islam itu sendiri yang dapat dikategorikan kurang tepat. Sebagai contoh, terdapat hadis nabi yang menganjurkan untuk menyambung silaturahmi agar mendapatkan keluasan rizki. Konteks hadits tersebut hanya dipahami saling mengunjungi tanpa diikuti dengan bentuk kerjasama yang berkelanjutan, sehingga makna dari keluasan rejeki hanya terhenti pada suguhan  saat bertamu. Makna tersebut tentu sangat dangkal, sehingga dalam kehidupan nyata tidak dapat langsung memberikan perubahan yang berarti.

Pada segmen yang lain umat Islam banyak dihibur dengan iming-iming pahala berlimpah atas segala pemberian yang diperuntukkan untuk orang miskin. Sehingga secara tidak sengaja umat Islam yang kebetulan kaya sungguh benar-benar melestarikan keberadaan orang miskin. Lihatlah euforia umat muslim memberikan makanan maupun uang kepada fakir miskin pada saat bulan Ramadhan. Di balik itu mereka tidak pernah berfikir untuk memberikan bantuan produktif agar kemudian tidak sampai terjadi kemiskinan di tengah-tengah umat Islam. Segmen ini juga menunjukkan pemahaman yang dangkal mengenai ayat-ayat atau hadits tentang anjuran berderma.

Berdasar kerisauan dan segmentasi paradigma yang kurang tepat, saya pribadi berharap forum silaturahmi di bawah naungan IKBAL ini dapat mengantarkan pada kesadaran untuk membangun kemandirian ekonomi kolektif. Selanjutnya, kita semua tentu butuh urun rembuk segmentasi apa yang mungkin dapat dilakukan untuk mewujudkan kemandirian ekonomi kolektif. Ditunggu responnya...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar