Sabtu, 12 September 2020

IDIA Kampus Kader Bertaraf Internasional



Usia IDIA (Institut Dirosat Islamiyah Al-Amien) telah memasuki 37 tahun. Suatu usia yang tidak dapat dibilang muda lagi, walaupun juga tidak dikatakan tua. Usianya kini dapat dibilang sebagai gerbang menuju kematangan. 

IDIA di mata para mahasiswa dan alumninya dikenal dengan sebutan kampus putih. Sebutan tersebut tidak hanya menunjuk pada gedung-gedung kampus yang serba putih, tetapi saya sendiri baru menyadari bahwa idrntitas itu lebih dekat pada niat, semangat dan cita-cita para pendiri dan seluruh penghuni kampus ini yang begitu sangat tulus dan ikhlas mengabdi. 

Kehadirannya pada mulanya sebagai lembaga pendidikan tinggi yang disiapkan oleh para pengasuh Pondok Pesantren Al-Amien bagi para asatidz yang mengabdi di pesantren. Karena itu nuansa dan semangat kaderisasi lebih terasa kental dari sekedar proses perkuliahan pada umumnya di perguruan tinggi lain. Artinya, kehadiran IDIA sebagai penyanggah kualitas sumber daya manusia untuk menumbuh-kembangkan sejumlah lembaga pendidikan di lingkungan pondok pesantren Al-Amien. 

Berangkat dari semangat kaderisasi tersebut, kurikulum yang hadir di IDIA adalah integrasi kurikulum perguruan tinggi dan kepesantrenan. Salah satu identitas yang paling kental sejak berdirinya IDIA sampai sekarang adalah penggunaan Bahasa Arab-Inggris sebagai bahasa pengantar perkuliahan. Bahkan untuk penulisan skripsi sebagai tugas akhir bagi para calon sarjana juga diwajibkan menggunakan bahasa Arab atau bahasa Inggris.

Walaupun corak perkuliahan dengan pengantar dua bahasa tersebut, IDIA tidak pernah mengklaim sebagai kampus bertaraf internasional. Artinya kehadiran dua bahasa tersebut di lingkungan kampus tidak semata-mata formalitas, tetapi benar-benar menjadi sebuah keharusan yang harus dikuasai oleh setiap mahasiswanya.  Oleh karena itu, IDIA tidak pernah menggunakan klaim internasional karena penggunaan bahasa, tapi saya melihat lebih tepat sebagai kampus kader.

Kini di usianya yang cukup matang, alumninya telah menyebar ke seluruh penjuru Nusantara. Mereka sebagian besar kembali ke kampung halamannya, mengabdi bagi masyarakat. Sebagian kecil lainnya ada yang mengambil lajur formal sebagai guru, dosen, peneliti, politisi dan berbagai profesi lainnya. Walau beragam pilihan dan tempat yang telah diambil oleh para alumninya, satu hal yang harus selalu mereka ingat, yaitu "mereka semua adalah kader". Kader umat yang harus siap memberikan khidmah untuk umat, bukan sekedar mengejar ambisi pribadi. Itulah hakikat sebagai kader. 

Selamat ulang tahun ke-37 IDIA. Kampus kader bertaraf internasional. Semoga terus berjaya. Amin..

Sabtu, 14 September 2019

Ambivalensi Media Masa; Pencerahan dan Penipuan

Teori sosial menjadi teori yang terlupakan setelah berhasil menjadikan agama hadir sebagai suatu obyek yang kokoh. Berikutnya terdapat satu persoalan yang belum menemukan solusi mengenai persoalan prekapitalisme yang muncul bersamaan dengan teknologi sosial telah membelah menjadi bentuk diskriminasi dan spesialisasi serta mendorong kekacauan budaya. Film, radio, televisi, internet dan media sosial telah membuat keseragaman yang sama, kemudian merasuk pada setiap bagian kehidupan manusia. Semua itu membentuk estetik politik yang terus menerus antusias membangun kepatuhan dalam sistem yang keras.

Kenyataan lain dari persolan di atas serupa dengan dekorasi industri (decorical industry) yang terus membangun pusat pertunjukan menjadi menara-menara yang gemerlap. Hal ini menjadi suatu kekhawatiran yang mengancam kesatuan masyarakat menuju pada kristalisasi individual yang independen, pada segmen inilah sebenarnya kekuatan kapitalisme itu menguat. Maka kemudian, hari ini masyarakat luas terlibat sebagai pelanggan sekaligus produser yang hadir di arena yang dibangun oleh para kapitalisme. Segala pertunjukan, film dan segala bentuknya tidak lagi murni sebagai karya seni, akan tetapi yang tersisa hanya kepentingan. Disinilah segala bentuk alat-alat (tools) sosial itu menempati ruang yang diragukan.

Budaya industri dan teknologi menjadi terma yang menarik, karena di dalamnya terdapat sejumlah orang yang terlibat. Di dalamnya juga terdapat kebutuhan konsumen, kepentingan konstitusi, kekuatan teknologi namun yang mengendalikan paling besar adalah mereka yang mampu mengendalikan ekonomi. Sementara teknologi digunakan sebagai dominasi rasional itu sendiri yang kemudian juga akan memarginalkan masyarakat dari kehidupan sosialnya. Handphone, film, media sosial selalu menjaga segala sesuatu berada pada level yang sama sebagai suatu standar dengan tujuan puncaknya adalah mengontrol kesadaran individual.

Dalam kehidupan kita obyek sosial tersembunyi pada setiap tujuan subyektif para pemimpin perusahaan yang memliki kuasa penuh di sektor industri, material, minyak, listrik dan materi-materi kimia. Penguasa faktual-formal berada di ruang yang tidak merdeka, bahkan kadang-kadang mengulum kegusarannya atas kekuasaanya yang fatamorgana, baik di ruang publik maupun dalam pengambilan kebijakannya. Penguasa faktual hidup tidak berdaya di bawah kebengisan dan serangan mental persatuan para pemilik usaha. Serangan para pemilik usaha ini merasuk pada persaiangan bisnis yang dapat saja berupa hasil-hasil justifikasi ilmiah, aturan atau hukum, standar kualitas produksi, kapasitas para pekerja dan seterusnya. Formalisasi standar tersebut kemudian sampai pada standar keseragaman global.

Formalisme dan keseragaman di atas dalam konsepsi Kant disebut dengan mekanisme tersembunyi di ruang jiwa yang disiapkan oleh institusi agar kemudian dapat serasi dan selaras dengan akal murni (pure reason). Hal tersebut kini dapat diurai dalam suatu penjelasan, dengan penyediaan data pengalamaan yang dirasionalkan melalui budaya-budaya indistri. Semuanya diatur sedemikian bagus, hingga tidak tersisa ruang bagi konsumen untuk melihat celah di dalamnya. Mengalirlah seluruh agenda industri tersebut dengan suatu kejelasan tentang siapa yang akan mendapatkan penghargaan, siapa yang akan dihinakan, yang dihukum bahkan sampai pada kejelasan siapa yang akan dilupakan. Sampailah pada kesimpulan bahwa realitas itu tak ubahnya sebagai sebuah pertunjukan keteloloan (idiotic event).

Kenyataan ini adalah layar lebar pertunjukan yang penuh dengan sandiwara. Suara-suranya membahana, warnanya begitu sangat mempesona bahkan sangat mengesankan, padahal semua itu adalah ilusi. Para penontonya akan kehilangan ruang imaginasi bahkan banyak yang tidak mengerti tentang struktur pertunjukan itu sendiri. Disinilah banyak orang kehilangan hakikat obyektifitasnya, mereka telah didesain secara mekanis.

Media dalam budaya industri memang memiliki karakteristik menjadikan kepalsuan terkonversi menjadi absolut. Sehingga berbicara budaya itu sama sebenarnya membicarakan yang bertolak belakang dengan budaya itu sendiri. Karena budaya itu sendiri saat ini adalah alat dominasi umum yang mensekamakan dan menggolongkan dalam ruang-ruang administrasi yang sejatinya adalah industrialisasi itu sendiri. Maka terma, miskin, kaya, cendekiawan, awam, saleh, bejat adalah strata sosial yang diderivasi dari budaya-budaya yang melekat pada individu dan kelompok yang lahir dari ruang pertunjukan di media massa.

Kelak di akhirat akan banyak orang yang komplain ketika ketaatan mereka dibalas dengan hukuman, karena mereka didunia melaksanakan sholat hanya gara-gara melihat orang yang melaksanakannya di sinetron disebut orang saleh. Begitu juga banyak wanita-wanita yang berhijab terhempas ke neraka, karena didunia mereka berhijab hanya berdasar anjuran hijrah dari ustadz-ustadz di youtube. Begitu juga orang yang arogan menolak milk  al-yamin karena banyak orang di media sosial menolaknya, mereka merasa benar padahal juga belum tahu persis apa yang diungkapkannya. Perlu dicatat, kritik ini bukan mengkritisi sholat, hijab dan penolakan terhadap milk yamin tapi adalah persoalan kita dalam berinteraksi dengan media yang tidak lengkap dalam memahmi media.

Kamis, 20 Juni 2019

Al-Amien Prenduan Lembaga Pendidikan Kader Islam


Momentum yang tidak pernah lekang dari ingatan setiap alumni Al-Amien adalah pengalaman mengikuti workshop keguruan. Workshop tersebut tidak sekedar ritus tahunan, tapi menjadi satu rangkaian yang tidak terpisahkan dari ruh pendidikan yang ada di lingkungan Pondok Pesantren Al-Amien Prenduan.

Walau demikian, tidak berarti setiap alumninya harus berprofesi menjadi guru, tentu juga tidak menafikan jika kemudian alumni Al-Amien banyak juga yang berprofesi jadi guru. Oleh karena itu Al-Amien tidak dapat sekedar disederhanakan dengan identitas pesantren khusus keguruan. Al-Amien memiliki identitas yang lebih besar dari itu, yaitu sebagai lembaga pendidikan kader Islam.

Lembaga pendidikan kader dan relasinya dengan aktifitas konkret keseharian rangkaian nilai keguruan yang ditanamkan di Al-Amien hanya sebagai wasilah untuk mencapai bobot kader Islam yang bermutu. Karena hanya dengan penanaman nilai keguruan itulah segala perangkat, kompetensi dan keterampilan menjadi seorang kader dapat terpenuhi.

Workshop keguruan yang digelar pasca rangkaian formal pendidikan selama kurang lebih 4-6 tahun lebih sekedar sebagai terminal penghubung antara yang normatif menuju gelaran aplikatif. Di dalam workshop tersebut setiap alumni tidak sekedar diminta mengulang teori-teori mengajar (ta'alim) yang pernah mereka terima di kelas, tetapi juga dijadikan sebagai momentum kontemplatif-filosofis mengenai makna menjadi seorang guru dalam arti luas.

Dengan demikian, gambaran workshop keguruan yang digelar di Al-Amien dapat dibilang "agak" berbeda dari workshop keguruan lainnya. Kedalaman makna "guru" betul-betul diurai sangat serius hingga harus melibatkan seluruh elemen pondok bahkan juga melibatkan para masyayikh dan pimpinan pondok.

Seluruh alumni yang baru saja menuntaskan pendidikan formalnya (khususnya TMI) wajib mengikuti workshop tersebut. Kewajiban tersebut tentu tidak sekedar kekhawatiran pada kealpaan para santri terhadap teori-teori pengajaran yang pernah mereka terima, tetapi jauh lebih penting dari itu adalah pemantik nyala kobaran ruh pengabdian dan keikhlasan. Pada poin inilah sebenarnya esensi workshop keguruan di Al-Amien.

Sebagai salah satu hasilnya dari rangkaian penanaman ruh keguruan tersebut telah menghadirkan sederet tokoh nasional seperti Ahmadie Toha, Jamal D Rahman, Samson Rahman, Mun'im Sirry, Zuhairi Misrawi dan sejumlah nama-nama besar lainnya yang kini telah mengabdi banyak untuk agama dan negeri ini. Bersyukurlah kita yang pernah menjadi bagian dari Al-Amien. Semoga nyala pengabdian dan keikhlasan itu tetap nyala liizil Islam wal Muslimin.(AT).

Minggu, 24 Februari 2019

Relasi Dzikir dan Kualitas Kemanusiaan


Dzikir adalah inti dari penghambaan. Secara etimologis dzikir bermakna mengingat. Berikutnya, makna dzikir digunakan secara etimologis sebagai sebuah rangkaian upaya yang dilakukan oleh seorang hamba agar selalu terhubung kepada Allah.

Dalam al-Quran disebutkan, fadzkuruni adzkurkum (ingatlah kepadaku, maka akan aku ingat kamu). Ayat tersebut erat kaitannya dengan persoalan dzikir, dimana fungsi dzikir adalah menjaga keterhubungan yang saling menguatkan antara hamba dengan Tuhannya. Begitu seorang hamba mengingat Allah, maka Allah akan membalas dengan mengingat hamba tersebut, begitu juga berlaku sebaliknya.

Pada pemahaman berikutnya, mengingat Allah (dzikrullah), semestinya adalah proses yang terus berjalan tanpa henti sepanjang hayat kehidupan manusia. Karena konsekuensi dari melupakan Allah akan berakibat pada ketidak-hirauan Allah terhadap  manusia. Persoalan tidak dihiraukan Tuhan adalah persoalan yang serius, dapat menggagalkan fungsi indenitas kemanusiaan.

Dzikir itu ibarat hubungan sinyal dengan HP. Tanpa sinyal maka fungsi HP sama dengan sekadar HP mainan, tidak dapat digunakan untuk berkomunikasi dan melakukan fungsi lainnya.  Hanya elegan dan memukau dalam pandangan.

Begitulah manusia tanpa dzikir, dia hanya golondongan daging berbalut busana. Pamer kesana kemari, namun tidak memiliki fungsi kemanusiaan. Namun sebaliknya, bagi mereka yang terus berada dalam dzikrullah  dia akan selalu berada di puncak kualitas kemanusiaan yang tinggi.

Intinya dzikir  adalah bagian dari uapaya meningkatkan kualitas kemanusiaan. Makin sering dan lekat dzikir pada kehidupan kita, maka makin tinggi kualiatas kemanusiaan kita. Sehingga kita akan menjadi manusia yang peka pada persoalan kemanusiaan.

Dengan demikian indikator dzikir bukan hanya terletak pada seberapa sering seseorang melafadzkan kalimat dzikir. Indikator itu ada pada sikap kemanusiaan. Berkata dan berbincang-bincang yang baik-baik, jujur, tidak menabar hoak dan tidak mencemooh bisa jadi adalah bentuk dzikir  dalam kehidupan nyata. Sudah sampai manakah   dzikir kita?. Mari introspeksi.

*Disarikan dari pengajian Shubuh Pagi di Masjid Al-Istiqomah Jl. Karya Perdamaian Kab. Kubu Raya